Dia masih
berdiri disana, diantara tanaman inong di pekarangan persis samping rumah.
Tangannya bersilang di balik badannya dan menatap rendah ke arah tanah.
Sesekali berjalan, sesekali menghela nafas. Sudah berapa lama dia termenung.
Yang pasti, inong melarangku untuk memanggilnya masuk ke dalam rumah. Sudah
sore, langitpun mendung. Sepertinya akan hujan.
Tapi kata inong biarkan saja. Belakangan ini among suka berdiri disana jika sedang memikirkan sesuatu.
Tapi kata inong biarkan saja. Belakangan ini among suka berdiri disana jika sedang memikirkan sesuatu.
Biasanya jarinya selalu menari di atas tuts piano di
samping kamar tamu kala sore menyapa. Itu adalah kegiatannya sejak masa
kerjanya tiba pada kata pensiun. Dan alunan nada-nada yang dimainkannya menjadi saat-saat yang menarik
hatiku dan senum inong untuk segera bergabung dengan teh hangat khas inong
hasian. Teh hangat ala inong, duduk bertiga dan bercerita tentang pariban, namboru, bapa tua, dan keluarga
besar. Hm......tapi beberapa hari ini suasana berbeda. Susah menangkap senyum
di belahan kedua wajah among.
"Apa yang
dipikirkan Among? Apa karena kepergianku minggu depan?" Tanyaku pada
inong.
"Inong tidak perlu jelaskan. Kau sudah tahu alasannya" jawab inong sambil berlalu.
Hatiku mulai gelisah. Mengapa akhirnya among memberiku restu untuk pergi jauh, meneruskan mimpi-mimpiku ke negeri orang namun hatinya tak rela. Aku tahu betapa kasihnya kepadaku karena aku anak semata wayangnya. Teringat tahun lalu aku mencoba membujuknya agar diberi ijin melanjutkan S2 ku di negeri orang, among masih bersikukuh tidak memberi ijin dengan alasan yang menurutku sedikit melenceng dari tabiat among, karena orangtuaku sudah tua, membutuhkanku disisi mereka. Tapi bulan lalu, saat among mengajakku memetik kopi sambil bercerita, dia menyampaikan padaku bahwa keinginanku terkabul. Walau among tak menatapku saat mengatakannya.
Semua berawal dari kelulusanku sebagai mahasiswa terbaik tahun lalu. Berita kelulusanku adalah berita terbaik yang pernah kuberikan pada inong dan among sepanjang yang bisa kuingat. Tapi ternyata kabar yang mengikutinya adalah berita yang juga paling tak pernah diharapkan terjadi. Beasiswa S2 ke Ausie dengan catatan aku akan kembali setelah menyelesaikan studyku dan menjadi pengajar di kampus. Tanpa harus berdiskusi panjang berita kedua dengan resmi ditolak.
"Inong tidak perlu jelaskan. Kau sudah tahu alasannya" jawab inong sambil berlalu.
Hatiku mulai gelisah. Mengapa akhirnya among memberiku restu untuk pergi jauh, meneruskan mimpi-mimpiku ke negeri orang namun hatinya tak rela. Aku tahu betapa kasihnya kepadaku karena aku anak semata wayangnya. Teringat tahun lalu aku mencoba membujuknya agar diberi ijin melanjutkan S2 ku di negeri orang, among masih bersikukuh tidak memberi ijin dengan alasan yang menurutku sedikit melenceng dari tabiat among, karena orangtuaku sudah tua, membutuhkanku disisi mereka. Tapi bulan lalu, saat among mengajakku memetik kopi sambil bercerita, dia menyampaikan padaku bahwa keinginanku terkabul. Walau among tak menatapku saat mengatakannya.
Semua berawal dari kelulusanku sebagai mahasiswa terbaik tahun lalu. Berita kelulusanku adalah berita terbaik yang pernah kuberikan pada inong dan among sepanjang yang bisa kuingat. Tapi ternyata kabar yang mengikutinya adalah berita yang juga paling tak pernah diharapkan terjadi. Beasiswa S2 ke Ausie dengan catatan aku akan kembali setelah menyelesaikan studyku dan menjadi pengajar di kampus. Tanpa harus berdiskusi panjang berita kedua dengan resmi ditolak.
Kupandangi lagi
among yang masih saja berdiri di tempat yang sama. Aku tak ingin lagi berusaha
menebak apa yang dipikirkannya. Wajah tuanya tampak sudah semakin tua dan
kehilangan senyum khasnya. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyesakkan dalam
dadaku, seolah-olah awan hitam di langit sana
mulai bergerak dan memenuhi hatiku. Apakah seharusnya aku tetap di sini?
Seharusnya aku tau kenapa among tak menatap wajahku saat berkata dia setuju aku
pergi. Dia tak mampu menyembunyikan ketidaksetujuannya di balik wajah tuanya.
Harusnya aku tak egois.
Tapi kesempatan
kedua tidak datang tiga kali bukan? Setelah tahun lalu beasiswa itu sempat
tertunda, dan bulan lalu tawaran yang sama kembali mengetuk pintu kamarku. Aku
yakin kalau kali ini itupun kutolak maka mimpiku mengecap pendidikan di negri
orang hanya akan sekedar menjadi sebuah mimpi yang melayang layang di
langit-langit kamarku. Tidak lagi. Toh, aku pergi untuk kembali. tiga tahun akan
berlalu tanpa kami bertiga menyadarinya. Semua akan baik-baik saja.
Praaanggg…
tiba-tiba aku mendengar suara aneh dari
dapur. Ada
sesuatu yang jatuh dan terpecah. “inoooong… ” aku berteriak memastikan inong
ada di tempat suara itu berasal. Sedikit berlari aku menuju dapur, kudapati
inong sedang memunguti pecahan-pecahan piring pecah yang berserakan di lantai.
Dia menangis. Inikah wanita kuat yang kukenal itu? diakah wanita yang selalu
tampak tegar menghadapi hidup ini? Diakah wanita yang dulu pernah tetap
tersenyum saat keluarga besar meminta among menikah lagi demi seorang anak
laki-laki. Apalah arti keluarga jika tidak ada yang dapat meneruskan nama
keluarga? Itu bisikan-bisikan yang sangat menyakitkan bagi setiap wanita batak,
tapi inong meresponinya dengan senyuman.
Apakah dia
wanita yang sama yang saat ini sedang menangis tanpa suara di hadapanku? yang air
matanya bersuara lebih keras dari andung-andung
diacara kematian. Yang air matanya telah menjadi hujan. Sekali lagi aku
bertanya dalam hatiku “egoiskah aku?”
Mata yang masih basah itu merayu bulir air kelopak hatiku.
Sudah Grace....bisikku sebelum mataku mengekor banjir. Hm.........kupastikan
impian itu masih utuh. Yah.....impian yang terpahat sebagai tuppak ngolu untuk among dan inong.
“Gimana berkas-berkasmu nang...sudah beres...?” ucapnya
sembari mengusap sisa basah di pipinya. Sebutan itu membuatku tenang. “Nang..”.
Yah....itu adalah panggilan sayangnya untukku.
“Udah...” Kubalas satu kata dengan segudang senyum yang kupunya sembari
menggenggam tangan inong.
“Hm.....tenanglah inong, dua tahun itu tidak akan terasa.
Aku akan tercukupi dengan doa dan holongmuna
natua-tuaku”
“Iya.... kalo masih sempat kutimang pahoppu darimu.” Sambung among
dari balik tirai ruang tengah. Ternyata among juga mendengar aku dan inong di
dapur. Sedikit tertawa pelan mendekatkan suaraku persis di daun telinga among.
“Sempatlah among...tenanglah ya among hasian” bisikku sembari meraih kedua bahunya.
****
Hari yang kunanti tiba juga. Kali ini tidak lagi kutemui wajah murung among. Hanya inong
yang malah makin sedih. Yah....naluri seorang bunda pastinya akan lebih terasa
jelas dari rautnya yang melukis kuatir dan harapan penuh. Wajah among yang
sudah cerah membuatku yakin melangkah dengan kaki kanan menuju ruang tunggu
usai chek in.
“Melangkahlah....dan raih impianmu boru....!”
Pelukan among menjadi semangat yang membakar tulangku.
Pelukan inong menambah yakinkan hatiku dan harapan yang terlukis di raut mereka.
Lambaian tanganku mengakhiri pertemuan aku dan mereka yang sangat aku cintai lebih dari ragaku. Dan kuyakin tatapan mereka pun tak lepas mengantarkan langkahku.
Pelukan inong menambah yakinkan hatiku dan harapan yang terlukis di raut mereka.
Lambaian tanganku mengakhiri pertemuan aku dan mereka yang sangat aku cintai lebih dari ragaku. Dan kuyakin tatapan mereka pun tak lepas mengantarkan langkahku.
***
Dua tahun tidak terasa berlalu, karena selama study yang penuh dengan onak itu. Semangat among dan inong terpatri di sana di hatiku yang penuh dengan cinta mereka. Satu gelar yang bersanding di belakang namaku menjadi tanda doa dan harapan mereka. Meski status gelar antara aku dan among sama, tapi bagiku among setara profesor.
Sukacita yang kubawa sebagai kado untuk tiap tekungan lutut mereka. Yah...ini semua buat among dan inong.
Tak sabar rasanya menibakan kakiku di rumah penuh cerita itu. Antara piano dan teh hangat ala inong hasianku. Terlukis senyum mereka membuka tangan untukku dan kado yang kubawa.
"Inong......among.....!"
"Horas.....among....!"
"Horas...inong....!" Teriakku menyaingi suara bel yang beradu antara jari dan pita suaraku. Tak sabar rasanya meraih pelukan mereka.
"Gerbang terbuka....hm...berarti among dan inong ada di dalam", gumamku.
Kubuka pelan daun pintu yang masih berwarna sama seperti sedia kala kutinggalkan.
'Terkunci!'.
"Gerbang terbuka, tapi kok pintu rumah tertutup?"
Inong ada kejutan apa ya....apa mereka tahu akan tiba sore ini? Mm......oke deh.
Sigap tanganku meraba pot bunga kesayangan among, 'bunga gelombang cinta'. Aku, among dan inong punya kesepakatan yang sudah menahun. Kalau keluar rumah, kunci akan selalu ada di sana di antara batang bunga gelombang cinta itu. Dan...yaps...gantungan kunci ini pun tak asing untukku. Setelah memasukkan anak kunci, melangkah melewati ruang tamu, ke ruang keluarga, ruang nonton, kuletakkan travel bag di atas sofa yang dulu biasanya tempatku bermanja di pangkuan inong dan mataku memandang sisi kiri kamar depan, kuraba piano dan tirai di sampingnya. Satu persatu bagian rumah itu membuka kembali memory dan suasana antara aku dan mereka...rasa rinduku kian menyesak menyentuh ubun.
Sesekali kutarik nafas panjang. Hm....dimana among dan inong. Napa HPnya tidak aktif?
Sedikit kuatir hinggap di hati, tapi tetap kuyakinkan hatiku, mereka sedang buat surprise untukku.
Tiga puluh menit serasa setahun menunggu kabar. Entah mengapa tetangga juga tidak kelihatan, hingga aku harus menunggu. Segera ku call namboru, siapa tahu mereka lagi berkujung ke sana.
Suara sedikit berat menyapaku di seberang.
"Hallo anggi.."
"Hallo namboru...among sama inong lagi di sanakah namboru?"
"Tunggu di sana ya anggi, sebentar lagi kau dijemput. jangan kemana-mana ya...!"
Belum sempat kujawab, panggilanku terputus. Berselang sepuluh menit, terdengar suara klakson mobil di depan gerbang.
"Segera Grace....!" Teriak seorang pria dari mobil itu. Adit, sepupuku ternyata.
"Kita mau kemana Dit..?" tanyaku semakin kuatir.
Dia hanya menjawabku dengan senyumnya.
Rasa sesak di dadaku semakin menekan.
"Jalan ini kan menuju rumah sakit Dit...??"
"Kita mau kemana..?"
Tangan kirinya menggenggam tanganku.
Tertatih kakiku melewati lorong rumah sakit, jantungku berdebar kuat. Tak lagi seirama dengan nafasku.
Dan...di sana....!! Aku terdiam tanpa kata, hanya suara nafasku yang terpenggal-penggal.
Among.....Inong!!!!! Tangisku memecah keheningan keluarga besar yang terdiam melihatku.
Di depan mataku among dan inong terbaring dan bisu.
Kubanting kedua tanganku di atas tubuh among yang terdiam. Tidak satu kata pun terucap darinya untukku.
Tangisku belum terhenti.....menunggu respon jari mereka menggenggamku. Aku habis kata. Inikah jawaban diam dan keraguanmu dulu among??
Inikah makna air mata saat aku berangkat dulu inong...?? Aku merintih dan merintih lagi.
Sesaat hatiku sedikit terobati kala inong terjaga masa kritisnya. Akhirnya Inong berbisik juga tepat di telingaku. Aku dan Amongmu bangga padamu nang....!! Terutama amongmu, tak henti mengeja namamu dalam doa-doanya. Kupeluk Inong erat..melepas rindu dan kesesakan hatiku. Hingga kami terjaga suara termometer komputer yang berbunyi.
"Tiitt........" garis-garis itu berubah lurus.
Rasanya tak percaya. Melihatnya terbujur kaku tanpa kata. Hanya senyum yang sempat kutemui di wajah amang parsinuan. Wajah setengah tengadah.
Dua bulan sudah kepergian among. Kecelakaan itu telah memisahkan aku dan among. Tapi aku bersyukur masih ada Inong yang menemaniku. Aku dan Inong masih kerap duduk bersama di depan piano dan syair-syair kesukaan among yang kami nyanyikan bergantian mengenangnya. Di sela sedihku....Inong ungkapkan satu per satu harapan among untukku, dan rasa bangganya meski hanya punya anak perempuan.
Selamat jalan Amang hasian.
Catatan:
among: ayah, inong: mama, tuppak ngolu:persembahan, pahoppu: cucu, holong: kasih sayang, natua-tuaku: orangtuaku, andung-andung: tangisan, hasian: sayang, anggi: panggilan Tante kepada anak perempuan saudara laki-laki. Namboru: saudara perempuan ayah.
among: ayah, inong: mama, tuppak ngolu:persembahan, pahoppu: cucu, holong: kasih sayang, natua-tuaku: orangtuaku, andung-andung: tangisan, hasian: sayang, anggi: panggilan Tante kepada anak perempuan saudara laki-laki. Namboru: saudara perempuan ayah.
jakarta, balige, bandung