Sungguh! sungguh aku
ingin untuk tidak mengharapkan punggung semumu lagi. Dulu….mungkin itu bagian
yang sangat kudamba darimu. Bersandar dan menumpahkan tiap asaku di sana. Sudah….kita sudahi
saja sandiwara tak bertanda ini. Biarkan kita saling membelakangi tanpa menoleh
lagi. Yah….berbalik dan saling membelakangi! Mengangkat bahu..menghempaskan
nafas setengah panjang dan kueja pelan kata ‘selesai’. Menatap mata cipit dan
senyum abstrakmu, hatiku mengekor dan berbisik seirama dengan tatapanku sebelum
ku berlalu meninggalkanmu. Meyakinkan hati untuk tidak membalikkan badan pada
arah dimana kamu yang mungkin masih memandang sisa langkahku. Kubiarkan mataku
berkaca dan segudang syair yang berenang bebas di sana, di balik kelopak yang kini cembung
penuh cairan.
Pertemuan terakhirku
denganmu, terasa jelas telapak kananmu yang dingin dan berair. Hanya saja tetap
tak bisa kupahami bahasa tanganmu yang dingin kala itu. Hm……gumamku membuyar
lamunan. Aku dan kamu ada pada satu bumi yang sama. Berdiri di atas tanah yang
namanya juga sama. ‘Bumi!’ Bedanya aku berdiri di atas tanah beratap langit
mendung, sedang dikau berdiri di atas tanah dan atapmu bercorak abu meski tetap
saja punya satu nama. ‘Bumi!’.
“Ikhlas….???”
“Bagaimana aku defenisikan kata itu di bawah langit mendung ini?” rentetan
pertanyaan dari hati untuk hati beradu. Bertanya…kujawab sendiri. Bertanya dan
kujawab sendiri lagi. Mereka yang memandangkupun mungkin akan tersenyum. Tapi
tetap aja mereka mencerna hal yang berbeda dari yang dikunyah otak kiriku. Sudahlah.
Kusudahi saja meski tak lagi ada tanda kata antara aku dan kamu.
Kuawali
lagi dari kata ‘start’ dengan label ‘new’. New day, new heart, new pray and new
tears… Tears…adalah seni memaknai hati yang dingin. Tapi tidaklah sama dengan
cairan di balik atap mendung di atas kepalaku.. Ingin kututup ceritamu dan tak
lagi kutatap punggung kuatmu. Meski harus kuakui teramat susah buat nadiku.
Tapi sungguh inilah yang kunamakan penerimaan. Menerima tiap kisah yang dulu
pernah kurajut bersama bayangmu…kenangan yang tak lagi berinduk. Sebab induk
bermetamorfose bersama waktu.
Label ‘new’ yang
terpahat di jidad kiriku pun membawa satu hati yang lain yang kemudian menjadi
sahabat untuk berbagi asa. Asa yang semu. Semu….yah….semu sebab pertemuan
mataku dan matanya pun tidak membekaskan kisah di sudut hatiku. Namun demi
sebuah album yang kunamakan masa depan kuberanikan untuk menerima hatinya.
Hanya sekedar menerima….bukan dengan rasa. Kubalut kata sahabat untuk
penerimaan itu dan kuabaikan kata egois dari rasa bersalahku.
Disela candaku dengan
hatinya yang kini kusebut sahabat. Kuterusik lagi dengan sosok yang tak asing
di pelupukku. Dan…..kamu…kamu….kamu lagi.
Ingin kuabadikan semua cerita
tentangmu dalam sebuah album yang kunamakan rahasia dan masa lalu. Kubukukan
dalam sebuah catatan usang yang kelak akan menjadi sebuah dongeng pengantar
tidur, dan kupastikan namamu akan kukenang dengan rasa dan cara yang tak lagi sama.
Tak terasa air mataku jatuh dan
tak lagi hanya memenuhi pelupuk mataku. Ah, aku masih tak sekuat harapku!
Kubuka jendela kamarku dan kupandangi tiap tetes hujan yang jatuh membasahi
tanah dan rerumputan di depan kamarku. Apakah alam inipun sedang berempati
untuk hatiku yang berduka?
Pandanganku mulai nanar dan
hatiku semakin dingin. Hujan…berita apa yang kau bawa untuk hatiku? Mengapa
engkau datang tak sendiri? Mengapa engkau membawa juga sepi bersama dinginmu?
Dan mengapa hatikupun menjadi tempat persinggahanmu?
Kulangkahkan kakiku keluar dari
kamar yang satu harian ini menjadi persembunyianku. Beberapa jam yang lalu aku
berusaha mengisi kepalaku dengan cerita-cerita tentang seseorang yang
kemarin datang dan menawarkan hatinya
untuk menjadi teman hatiku. Bayu. Tapi semakin aku berusaha memikirkannya maka
nama orang lain juga semakin berusaha masuk memenuhi pikiranku.
Bayu, engkau adalah sahabat
terbaik yang pernah aku miliki dan aku terlanjur menempatkanmu pada posisi
sahabat dalam hatiku. Aku tak lagi tau harus bagaimana caranya menggantikan
posisimu seperti inginmu. Taukah engkau kenapa? Bukan karena aku tak ingin,
tapi sejak engkau belum hadir dalam wujudmu sebagai sahabatku, hatiku terlanjur
memilih seseorang. Hanya saja dia tak pernah tau dan akupun tak ingin dia tau.
Aku memilih hati yang salah… Aku memilih hati yang telah berempunya. Bay, aku harus bagaimana?
Aku terlanjur salah berharap
padanya, aku pernah berharap kelak akan menyandarkan lelahku pada punggungnya
yang kuat, aku terlanjur pernah berharap akan bercermin di matanya yang tulus
penuh kasih sayang dan pernah sangat berharap akan memegang tangannya saat
merasa tak lagi mampu berdiri.
Akupun tak pernah berhenti
bertanya dalam hatiku, kenapa dia? Kenapa bukan padamu aku berharap? Sebab ternyata
engkaulah yang berusaha selalu hadir menjawab semua mimpi semuku. Hatimu dan
tanganmulah yang selalu hadir bahkan saat aku memikirkannya. Bay… kenapa?
Kenapa kata sahabat begitu lekat
dengan hadirmu sementara engkau sendiri tidak hadir untuk itu? Sejujurnya aku
kerap berusaha bodoh dan menutup mata untuk semua arti dibalik kasih sayang dan
perhatianmu. Aku pernah mencoba
Bay, sangat sering malah.
Aku ingin hatiku memanggilmu seperti harapmu tapi semua tampaknya hanya akan
menjadi sandiwara bodoh yang kelak akan menyakitimu. Ini tak adil! Bay, maafkan aku…
Aku telah menyatu dengan hujan.
Berharap aku dapat berbagi perihku dengan dingin. Berharap tiap tetesnya akan
menghapus satu nama yang ada dalam hatiku dan kepalaku. Aku sangat berharap
lebih. Aku tak lagi dapat membedakan air mataku dan air hujan, tangisku dan
deru hujan menyatu menjadi irama yang tak terpisahkan, bahkan akupun tak lagi
tau pasti apakah aku sedang menangis ataukah ini hanya suara alam.
Jariku menari-nari di atas tanah
yang basah, dan kutuliskan sebuah nama di sana.
Entah mengapa itupun bukan namamu Bay… Mungkinkah dalam ketidaksadaranpun
hatiku juga salah memilih. Air hujan menghapus nama itu tanpa permisi dan tak
satu hurufpun membekas.
Sekali lagi aku mencoba mengukir
sebuah nama dengan ujung jariku yang mulai hampir membeku. Aku merasakan
perihnya dikulitku yang membiru. Itu
namamu Bay.
Mungkin harus demikian cerita ini
kumulai kembali, membiarkan waktu menghapus nama yang salah itu. dengan catatan
tanpa paksaan! Kurasa aku harus membiarkan nama itu terhapus perlahan-lahan dan
merelakannya hilang tanpa harus menyakitiku hatiku.
Dan mungkin pula aku harus
mengizinkan sakit ini bertahan sementara waktu, aku harus menjadikannya sahabat
untuk perjalananku. Aku tau aku tidak sendiri. Ada kasih sayang yang tulus yang akan
membalutnya. Ada
perhatian yang akan menghangatkannya. Bay, maukah engkau bersabar menemaniku?
Maukah engkau menjadi sahabat untuk lukaku.
Tiba-tiba hujan berhenti di tempatku
berada. Dan aku merasa tak lagi sendiri bersama hujan. Payung hitam menaungiku
dan senyum hangat milik seseorang yang kukenal dialamatkan padaku. Tangannya
meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Dia menolongku berdiri. Memandangku
penuh kasih sayang, seperti biasanya. Tanpa harus permisi dia telah
menempatkanku di pelukannya. Aku berusaha memahami arti dari bahasa yang hanya
dapat kurasakan ini. Kehangatan ini seolah-olah sedang ingin menyampaikan
sesuatu.
“Dian…aku mencintaimu” Bayu
berbisik lembut ditelingaku. “aku akan tunggu sampai lukamu sembuh, aku akan
bersabar untukmu” aku tak lagi tau harus berkata apa. Aku hanya menumpahkan
tangisku dibahu yang kini memberiku harapan.
“Bay, trimakasih…”
bandung, balige