dream!!

dream!!
aku sedang mempertahankan cinta yang ada dalam diriku, bukan untuk memiliki hati yang diharapkannya. tapi mempertahankan hatiku agar tak terluka saat hati yang diinginkannya bahkan tak menyadarinya.-----
aku sedang jatuh cinta

Rabu, 29 Februari 2012

Catatan untuk “1 Hari Bonus”

Sekolah kehidupan dengan mata pelajaran kesabaran.

Adalah aku seonggok daging yang membalut tulang. Dengan pikiran yang kadang tak sesuai dengan aturan yang telah diajarkan di sekolah. Aku hanya membiarkan pikiranku berlari bersama liarnya imajinasi dan melepasnya terbang bersama hayal yang tak santun. Dan itu tak hanya jarang terjadi, tapi hampir selalu. Kerap aku marah pada hidup yang sesukanya menampilkan adegan-adegan tak cantik pada pandangan mataku dan menyuarakan bahasa-bahasa yang memekakkan telingaku. Apakah ini makna keutuhan hidup? Utuh dalam bingkainya yang menyimpan gambar-gambar samar, utuh dalam kerasnya dan utuh dalam ketidakutuhannya.

Sabar! Sabar! Sabar! Demikian teriakan para pecinta kehidupan. Apakah tak cukup sekali kata itu diperdengarkan? Ataukah terlalu penting kata itu hingga berulang-ulang digemakan.
Hidup ini tak semudah membuat teori tentang hidup itu sendiri. Hidup ini bicara tentang suara-suara yang harus didengar bahkan suara itu sendiri tidak berbicara. Hidup ini bicara tentang gambar-gambar usang yang terus dibicarakan. Yah…gambar-gambar usang yang telah dipaketkan menuju alamat yang disebut masa lalu, tapi yang terjadi adalah tak ada alamat sedemikian dalam sekolah hidup. Masa lalu, sekarang dan nanti telah menjadi rajutan yang membentuk sebuah selimut waktu. Tak terpisahkan!

Ada bagian dari cerita yang tak lagi ingin kudengar. Ada sosok yang kehadirannya membuatku ingin memilih mengganti thema cerita yang pernah ada. Ada gambar-gambar yang kuingin dihapus dari albumnya. Ada banyak ingin yang membuatku benar-benar memahami hidup dengan cara yang salah.
Apakah pembelaan diri adalah hak yang dapat kupilih? Apakah aku berhak merasa benar untuk kegagalan yang memalukan ini. Atau malah aku berhak untuk tidak merasa malu. 

Ingin rasanya ada kesempatan memilih siapa yang harus aku temui dijalan yang juga kupilih pada waktu yang kuinginkan. Arrghhh… Mengapa rasanya aku ingin semua menjadi seperti inginku. Mengapa hidup ini mengajariku dengan cara yang tak memanjakanku.

Demikianlah setiap keluhan tidak menolongku bertumbuh dan mendapat nilai A di bangku sekolah kehidupan ini. Kesabaran ternyata adalah paket yang terdiri dari perjuangan dan pengikisan ego.

Berjuanglah Nova….nikmati keindahan mengenal kelemahan dan pengikisan ego yang tak mudahhhh…. :)

Selasa, 28 Februari 2012

A little thing in your big day


Hidup ini diawali dengan sebuah permohonan…
Permohonan untuk orang lain atau untuk diri sendiri
Kehadiranmupun adalah sebuah permohonan…
Tanpa kau sadari atau tidak,
Tapi begitulah dia berawal.

Hidup ini dijalani dengan sebuah harapan…
Harapan dari dirimu sendiri atau dari orang lain
Demikian pula hidupmu dan perjalananmu
Diwarnai dengan harapan dari hatimu
Dan harapan dari mereka yang mengasihimu

Hidup ini akan berujung pada satu nilai
Nilai yang kelak akan memberi arti siapa dirimu
Tapi kali ini, nilai itu tak lagi datang dari dirimu
Dan bukan pula dari orang lain
Nilai itu diberi oleh Dia,
yang pada awalnya menjadi muara segala permohonan
dan menjadi tujuan dari semua harapan

permohonan itu telah menjadi sebuah perwujudan cinta
harapan itu telah nyata dalam sebuah perjalanan hidup
dan nilai kelak akan menjadi milikmu…
doaku adalah semoga permohonan dan harapan itu,
akan diberi nilai sempurna oleh Penciptamu…
dan itu sempurna dalam dirimu…
selamat ulang tahun adikQ…

                                                            @ririn’s bday. 28-02.2012

Bersama hujan


Sungguh! sungguh aku ingin untuk tidak mengharapkan punggung semumu lagi. Dulu….mungkin itu bagian yang sangat kudamba darimu. Bersandar dan menumpahkan tiap asaku di sana. Sudah….kita sudahi saja sandiwara tak bertanda ini. Biarkan kita saling membelakangi tanpa menoleh lagi. Yah….berbalik dan saling membelakangi! Mengangkat bahu..menghempaskan nafas setengah panjang dan kueja pelan kata ‘selesai’. Menatap mata cipit dan senyum abstrakmu, hatiku mengekor dan berbisik seirama dengan tatapanku sebelum ku berlalu meninggalkanmu. Meyakinkan hati untuk tidak membalikkan badan pada arah dimana kamu yang mungkin masih memandang sisa langkahku. Kubiarkan mataku berkaca dan segudang syair yang berenang bebas di sana, di balik kelopak yang kini cembung penuh cairan.
Pertemuan terakhirku denganmu, terasa jelas telapak kananmu yang dingin dan berair. Hanya saja tetap tak bisa kupahami bahasa tanganmu yang dingin kala itu. Hm……gumamku membuyar lamunan. Aku dan kamu ada pada satu bumi yang sama. Berdiri di atas tanah yang namanya juga sama. ‘Bumi!’ Bedanya aku berdiri di atas tanah beratap langit mendung, sedang dikau berdiri di atas tanah dan atapmu bercorak abu meski tetap saja punya satu nama. ‘Bumi!’.

“Ikhlas….???”
“Bagaimana aku defenisikan kata itu di bawah langit mendung ini?” rentetan pertanyaan dari hati untuk hati beradu. Bertanya…kujawab sendiri. Bertanya dan kujawab sendiri lagi. Mereka yang memandangkupun mungkin akan tersenyum. Tapi tetap aja mereka mencerna hal yang berbeda dari yang dikunyah otak kiriku. Sudahlah. Kusudahi saja meski tak lagi ada tanda kata antara aku dan kamu.
Kuawali lagi dari kata ‘start’ dengan label ‘new’. New day, new heart, new pray and new tears… Tears…adalah seni memaknai hati yang dingin. Tapi tidaklah sama dengan cairan di balik atap mendung di atas kepalaku.. Ingin kututup ceritamu dan tak lagi kutatap punggung kuatmu. Meski harus kuakui teramat susah buat nadiku. Tapi sungguh inilah yang kunamakan penerimaan. Menerima tiap kisah yang dulu pernah kurajut bersama bayangmu…kenangan yang tak lagi berinduk. Sebab induk bermetamorfose bersama waktu.

Label ‘new’ yang terpahat di jidad kiriku pun membawa satu hati yang lain yang kemudian menjadi sahabat untuk berbagi asa. Asa yang semu. Semu….yah….semu sebab pertemuan mataku dan matanya pun tidak membekaskan kisah di sudut hatiku. Namun demi sebuah album yang kunamakan masa depan kuberanikan untuk menerima hatinya. Hanya sekedar menerima….bukan dengan rasa. Kubalut kata sahabat untuk penerimaan itu dan kuabaikan kata egois dari rasa bersalahku.
Disela candaku dengan hatinya yang kini kusebut sahabat. Kuterusik lagi dengan sosok yang tak asing di pelupukku. Dan…..kamu…kamu….kamu lagi.
Ingin kuabadikan semua cerita tentangmu dalam sebuah album yang kunamakan rahasia dan masa lalu. Kubukukan dalam sebuah catatan usang yang kelak akan menjadi sebuah dongeng pengantar tidur, dan kupastikan namamu akan kukenang dengan rasa dan cara yang tak lagi sama.

Tak terasa air mataku jatuh dan tak lagi hanya memenuhi pelupuk mataku. Ah, aku masih tak sekuat harapku! Kubuka jendela kamarku dan kupandangi tiap tetes hujan yang jatuh membasahi tanah dan rerumputan di depan kamarku. Apakah alam inipun sedang berempati untuk hatiku yang berduka?

Pandanganku mulai nanar dan hatiku semakin dingin. Hujan…berita apa yang kau bawa untuk hatiku? Mengapa engkau datang tak sendiri? Mengapa engkau membawa juga sepi bersama dinginmu? Dan mengapa hatikupun menjadi tempat persinggahanmu?

Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar yang satu harian ini menjadi persembunyianku. Beberapa jam yang lalu aku berusaha mengisi kepalaku dengan cerita-cerita tentang seseorang yang kemarin  datang dan menawarkan hatinya untuk menjadi teman hatiku. Bayu. Tapi semakin aku berusaha memikirkannya maka nama orang lain juga semakin berusaha masuk memenuhi pikiranku.

Bayu, engkau adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki dan aku terlanjur menempatkanmu pada posisi sahabat dalam hatiku. Aku tak lagi tau harus bagaimana caranya menggantikan posisimu seperti inginmu. Taukah engkau kenapa? Bukan karena aku tak ingin, tapi sejak engkau belum hadir dalam wujudmu sebagai sahabatku, hatiku terlanjur memilih seseorang. Hanya saja dia tak pernah tau dan akupun tak ingin dia tau. Aku memilih hati yang salah… Aku memilih hati yang telah berempunya. Bay, aku harus bagaimana?

Aku terlanjur salah berharap padanya, aku pernah berharap kelak akan menyandarkan lelahku pada punggungnya yang kuat, aku terlanjur pernah berharap akan bercermin di matanya yang tulus penuh kasih sayang dan pernah sangat berharap akan memegang tangannya saat merasa tak lagi mampu berdiri.
Akupun tak pernah berhenti bertanya dalam hatiku, kenapa dia? Kenapa bukan padamu aku berharap? Sebab ternyata engkaulah yang berusaha selalu hadir menjawab semua mimpi semuku. Hatimu dan tanganmulah yang selalu hadir bahkan saat aku memikirkannya. Bay… kenapa?

Kenapa kata sahabat begitu lekat dengan hadirmu sementara engkau sendiri tidak hadir untuk itu? Sejujurnya aku kerap berusaha bodoh dan menutup mata untuk semua arti dibalik kasih sayang dan perhatianmu. Aku pernah mencoba Bay, sangat sering malah. Aku ingin hatiku memanggilmu seperti harapmu tapi semua tampaknya hanya akan menjadi sandiwara bodoh yang kelak akan menyakitimu. Ini tak adil! Bay, maafkan aku…

Aku telah menyatu dengan hujan. Berharap aku dapat berbagi perihku dengan dingin. Berharap tiap tetesnya akan menghapus satu nama yang ada dalam hatiku dan kepalaku. Aku sangat berharap lebih. Aku tak lagi dapat membedakan air mataku dan air hujan, tangisku dan deru hujan menyatu menjadi irama yang tak terpisahkan, bahkan akupun tak lagi tau pasti apakah aku sedang menangis ataukah ini hanya suara alam.

Jariku menari-nari di atas tanah yang basah, dan kutuliskan sebuah nama di sana. Entah mengapa itupun bukan namamu Bay… Mungkinkah dalam ketidaksadaranpun hatiku juga salah memilih. Air hujan menghapus nama itu tanpa permisi dan tak satu hurufpun membekas.

Sekali lagi aku mencoba mengukir sebuah nama dengan ujung jariku yang mulai hampir membeku. Aku merasakan perihnya dikulitku yang membiru. Itu namamu Bay.
Mungkin harus demikian cerita ini kumulai kembali, membiarkan waktu menghapus nama yang salah itu. dengan catatan tanpa paksaan! Kurasa aku harus membiarkan nama itu terhapus perlahan-lahan dan merelakannya hilang tanpa harus menyakitiku hatiku.
Dan mungkin pula aku harus mengizinkan sakit ini bertahan sementara waktu, aku harus menjadikannya sahabat untuk perjalananku. Aku tau aku tidak sendiri. Ada kasih sayang yang tulus yang akan membalutnya. Ada perhatian yang akan menghangatkannya. Bay, maukah engkau bersabar menemaniku? Maukah engkau menjadi sahabat untuk lukaku.

Tiba-tiba hujan berhenti di tempatku berada. Dan aku merasa tak lagi sendiri bersama hujan. Payung hitam menaungiku dan senyum hangat milik seseorang yang kukenal dialamatkan padaku. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Dia menolongku berdiri. Memandangku penuh kasih sayang, seperti biasanya. Tanpa harus permisi dia telah menempatkanku di pelukannya. Aku berusaha memahami arti dari bahasa yang hanya dapat kurasakan ini. Kehangatan ini seolah-olah sedang ingin menyampaikan sesuatu.

“Dian…aku mencintaimu” Bayu berbisik lembut ditelingaku. “aku akan tunggu sampai lukamu sembuh, aku akan bersabar untukmu” aku tak lagi tau harus berkata apa. Aku hanya menumpahkan tangisku dibahu yang kini memberiku harapan.

“Bay, trimakasih…”


nulis duet @ dan @da_manique
bandung, balige

Jumat, 24 Februari 2012

cita-cita mulia

Kelas ini begitu asing. Ada yang matanya segaris, ku sebut ia si cipit, hanya di dalam hati. Ada yang hitam legam, seperti orang Negro, dan aku tak sanggup berlama-lama memandangnya. Takut kalau ia mendapati aku sedang mengamatinya, menyebabkan ia tersinggung dan akhirnya memarahi aku. Di bangku barisan paling depan seorang gadis cantik sedang duduk membaca buku, rambutnya ikal, tapi aku tahu ia pasti cantik sekali, kulitnya tidak terlalu putih, dan juga tidak coklat, seperti anak blasteran yang cantik.

Ini hari pertamaku masuk kelas ini. Sebagai pendatang baru di kelas yang di kota yang baru, tentu aku tidak memiliki banyak teman, satu pun tidak. Bahkan aku tidak mengenal siapapun di tempat ini. Aku marah pada kedua orang tuaku yang rela anaknya merasakan kesepian yang amat sangat karena harus berpisah dengan teman-teman di Medan, kota tempat tinggalku dulu. Tapi, apa boleh buat, orang tua tetaplah orang tua, aku tetap sayang pada keduanya.


Ini Jakarta? Dengan hiruk pikuk yang mengerikan! Orang-orang yang tidak peduli satu sama lain. Di kelas ini pun tak ada satupun yang mau menyapaku, melihat ke arahku pun tidak, seolah aku tidak benar-benar kelihatan bagi mereka. Inikah kota yang menjadi ibukota negaraku?Aku sedih. Bukan karena mereka yang tidak melihatku, tapi karena kondisi negaraku yang terpuruk, keadaannya tak lagi seperti apa yang pernah jadi sebutan. Bukankah keramahan negeri ini pernah jadi buah bibir? Huft...


Aku memang tidak tahu banyak, aku hanya seorang anak SMP yang baru saja dipindah sekolahkan karena ayahku pindah tugas. Pindah ke kota yang sebelumnya aku lihat melalui berita yang ditonton ayahku. Ayahku suka sekali mendengarkan berita-berita nasional dan terkadang ia akan berkomentar kepadaku, dan aku hanya menggangguk tanda mengerti.
Yang tak pernah kumengerti adalah "Mengapa harus Jakarta?" dan aku pernah menanyakan itu pada ayah. Ayah hanya tersenyum tipis lalu menepuk kepalaku lembut. Dan seperti biasa, ayah selalu membuatku nyaman dan melupakan pertanyaanku sendiri.

Oh iya, perkenalkan namaku Gie, nama asliku Gomgom Damanik, tentu saja aku orang Batak. Simalungun tepatnya. Teman-teman sering memanggilku Gie. Aku suka cara mereka menyebut namaku. Paling tidak arti dari namaku yang sesungguhnya tidak terasa mencekik setiap kali aku mendengar mereka memanggilku. Taukah? Gomgom itu artinya memegang erat-erat. Entah kenapa aku diberi nama itu? Apakah aku seperti balon dalam lagu anak-anak? Hm...
Dan disini, mereka bahkan tak tahu namaku siapa.

"Lu anak baru ya?" seorang anak lelaki yang bisa kuperkirakan bahwa dia lebih kuat dan lebih gemuk dariku menyentuh bahuku.Aku menengadah. Setengah takut setengah berani menatap kepadanya."Iya, namaku Gomgom, biasanya dipanggil Gie," akhirnya kusodorkan tanganku kepadanya. Dia memandangku aneh, antara percaya atau tidak, antara tersentak atau menggeram, Aku sulit menebaknya. Aku juga punya reaksi yang hampir sama saat mendengar nama itu dipersembahkan padaku. Kenapa? Pertama, karena takjub dengan ketidaknyambungannya. Dan kedua takjub bagaimana mungkin namaku menjadi seindah itu. *eh?


"lu mau kan berteman denganku?" Katanya ketus sedikit mengerutkan dahi.

"Mau" jawabku singkat saja. Tak berani memberi jawaban yang lain, tubuh besarnya punya karisma tersendiri untuk membuatku harus menuruti apa katanya. Percayalah, dia sedikit lebih mirip jagoan ring tinju daripada siswa SMP. Lalu dia mengajakku ke kantin, disana dia mulai bercerita bahwa di sekolah ini tidak banyak yang mau bergaul dengannya. Ternyata dia bersuku Ambon dan ayahnya dikenal sebagai bodyguard di sebuah hotel ternama di kota ini. Ibunya tinggal di rumah, mengurusi sebuah warung makan kecil yang letaknya di kompleks tempat hiburan malam. Akhirnya banyak anak-anak yang menjauhinya karena latar belakang keluarganya. Namanya Mike. Tapi pasti akan lebih baik kalo nama lengkapnya Mike Tyson. Well, penampampakan luar sudah menjanjikan.

Menurutku Mike anak yang baik dan sopan, meskii tampangnya sedikit menyeramkan. Dia juga lucu saat kuperhatikan sedang makan mie ayam di kantin. Dia makan dengan begitu lahapnya, sampai meninggalkan berkas minyak sayur di pakaiannya. Apakah itu lucu? Anggap saja lucu.


Ternyata, dia punya seorang teman lagi yang ingin dia kenalkan. Namanya Akiong. Anak keturunan Cina yang pintar berhitung. Selama ini hanya Akiong yang mau menemaninya makan dan membaca di perpustakaan. Hanya saja Akiong sedang tidak masuk sekolah, popo meninggal kemarin.
Oh ya, Mike punya rencana hebat yang berdasarkan perencanaannya tahun depan harus sudah tercapai. Dia berencana mendirikan sebuah genk siswa SMP yang akan dinamainya genk bhineka tunggal ika. Aku hampir memuntahkan bakso dalam mulutku saat mendengar rencana mulianya itu. Mimpinya adalah melanjutkan mimpi Gajah Mada, mempersatukan negri ini dan dimulai dari genk ajaib yang akan dibentuknya.
Adalah Santoso, siswa paling pendiam di kelas ini yang akan dijadikan target selanjutnya. Mike sudah mempelajari latar belakang keluarga Santoso, berikut mencatat makanan-makanan kesukaan Santoso yakni gado-gado dan pecel. Tak hanya itu dia juga sudah mencari tau binatang yang paling ditakutinya, yakni kecoa alias lebih dikenal sebagai lipas kalau di Medan. Ini adalah alasan mencari tau informasi diatas:
Pertama, latar belakang keluarga: memastikan kebenaran bahwa Santoso berdarah asli Jawa, dan bahwa orang tuanya bukan pejabat. Kenapa bukan anak pejabat? Untuk keamanan alasan ketiga.
Kedua, mencari tau daftar makanan kesukaan untuk bisa mendekatinya dengan cara kekeluargaan dan cara yang sangat santun. Memberi makan, eh bukan memberi makan tapi tepatnya mentraktir makan. Kalo dia tidak mau bergabung dengan cara ini maka cara yang ekstrim dan kejam terpaksa jadi pilihan yang terakhir.
Ketiga, alasan mencari tau binatang yang paling ditakutinya adalah dengan untuk memberi ancaman kalau saja cara baik-baik ditolak. Mike berniat akan memasukkan seekor kecoa kedalam tas Santoso setiap hari. Aku bergidik ngeri membayangkannya.
Tapi demi sebuah cita-cita yang mulia aku berusaha mendukungnya, dan langkah pertamaku mendukungnya adalah mendekati Santoso dengan cara baik-baik. Aku tidak ingin cara yang kejam dijalankan, taukah kenapa? Karena aku juga tak ingin mimpi Gajah Mada dinodai dengan kehadiran lipas.
Lagipula kalau genk ini benar-benar terbentuk aku akan punya posisi yang menjanjikan bukan? Mike pasti jadi ketua, paling tidak wakil ketua, bendahara atau sekretaris akan jadi pilihan yang dapat diperebutkan oleh saya, Gomgom Damanik atau Gie, Akiong dan Santoso.
Paling tidak sebelum jadi anggota Dewan beberapa puluh tahun kedepan, sekarang aku bisa berlatih menjadi pengurus genk! Hidup Genk Bhineka Tunggal Ika!!
MERDEKA!!!!

nulis duet dengan @ririntagalu dan @jusnitagaol
balige, jakarta

Senin, 20 Februari 2012

tentang kita

Tiap kali melewati jalan ini maka aku teringat beberapa bagian dari cerita yang dulu pernah menjadi kesukaanku. Aku pernah berharap jalan ini akan menjadi sangat panjang atau bahkan tak mengapa jika tak berujung. Kau tau mengapa? Dengarlah, dan diakhir cerita engkau akan tau jawabnya.

Kita pernah tertawa tanpa sebab yang jelas saat melewati jalan ini, engkau menertawai pejalan kaki yang memaki lampu merah sementara aku menertawai angin yang mempermainkan ujung rambutku. Kita tertawa itulah themanya dan entah apa sebabnya itu tak jadi masalah yang terpenting adalah kita. Kau tau artinya ada engkau dan aku mendampingi sebuah kata kerja.
Kita pernah tanpa cerita, berjalan dan melangkah tanpa bicara. Diam menjadi pihak ketiga yang menemani, di penghujung jalan kita hanya akan sama-sama tersenyum sebagai tanda perpisahan. Tapi diam itupun terasa cukup menjadi sebuah cerita tentang kita.
Masihkah engkau ingat berapa kali kaki kananmu menendang bebatuan yang membuatku tersandung, pura-pura marah karena benda mati itu telah membuat kakiku tersakiti. Ah, apakah demikian caranya engkau melindungi orang yang diam-diam mengagumi dan merindukanmu setiap pagi.

Tahukah engkau adakalanya aku menyalahkan panasnya mentari untuk memintamu sejenak berhenti di bawah pepohonan. Sesungguhnya ada di sampingmu sajapun telah lebih nyaman dari semua itu.
Dan dilemma sering mendatangiku tanpa sadar, saat berjalan bersamamu aku ingin jalan ini tak berujung, namun saat engkau tak ada aku sangat berharap ujung jalan ini selalu ada didepan mataku. Apa sesungguhnya yang kuharapkan? Jalan inikah atau keberadaanmu? Kurasa engkau tahu jawabnya. Ini bukan dilemma ternyata tapi sekedar harapan kosong tentangmu.
Kemarin aku bertemu dengan pohon yang dulu menjadi tempat kita berteduh, aku bertanya padanya apakah dia pernah melihatmu belakangan ini. Tapi dia tak memberiku jawaban apapun, “baiklah…” kataku waktu itu lalu kutitipkan salam untukmu padanya kalau satu saat engkau singgah atau bertemu dengannya.
Oh ya, batu-batu itupun tak lagi pernah menyakitiku. Pemerintah kota telah membuat jalan yang lebih baik, mereka berkata itu untuk memperindah jalan kota, tapi sampai sekarang aku belum pernah melihat jalan ini menjadi lebih indah. Malah aku merasa jalanan ini dulu jauh lebih indah dan tak pernah membuatku merasa sepi dan kosong.
Aku juga berharap engkau takkan pernah tau apa yang baru saja kulakukan tadi, aku baru saja mengutuki lampu merah yang tak bersalah. Dia membuat perjalanan ini tampaknya menjadi semakin panjang dan aku tak suka. Seandainya engkau melihatku tadi engkau tentunya akan berkata aku tak lagi tau bagaimana caranya menikmati hidup dan bersyukur.

Mengapa jalan ini sangat jauh dan melelahkan saat aku melintasinya seorang diri, sementara denganmu terasa singkat. Bisakah kau tinggal lebih lama, atau sudah adakah jalan lain yang kau lintasi? Padahal kita sudah membuat rencana-rencana yang menurutku terkesan gila namun menyenangkan. Kita akan membuat bunga-bunga dan pohon-pohon yang kita suka disepanjang jalan ini jadi bukan hanya satu pohon yang akan menaungi kita tapi semua pohon yang kita tanam. Maka ketika kita lelah berjalan, sejenak melepas letih diantara bunga-bunga itu, atau berlomba utuk mengumpulkan kupu-kupu dengan lukisan seperti mata disayapnya. Sepertinya itu tidak akan pernah terjadi lagi, dan ini adalah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Benarkah?
Sebentar lagi semua akan menjadi asing. Dan esok adalah saat dimana jalan yang kutapaki adalah jalan baru bagiku, bukan jalan yang sering kita lewati ini.
Tapi kuharap, kau ada di ujung jalan itu. Karena aku masih mengagumimu, merindukanmu seperti air yang tak berhenti mengalir. Aku tak berharap akan ada batu-batu yang tak beraturan yang akan membuatku terjatuh, atau tiupan angin yang menyapu rambutku sehingga mengganggu penglihatanku, atau lampu merah yang membuatku lama untuk menyeberang, atau bahkan pejalan kaki yang membuatku sulit memandang ke depan. Hanya berharap, jalan ini lurus tanpa ada apapun yang melintang dan jika bisa kau menungguku di ujung jalan untuk kembali melanjutkan cerita kita dan bersama-sama melintasi jalan dihadapan kita. Kali ini tanpa dilemma, dan kau akhirnya harus tahu semua tentang perjalananku tanpamu selama ini kecuali saat aku memaki lampu merah itu. Karena itu akan membuatku menertawakan diriku, betapa konyolnya ketika aku melakukan itu.

Jika kau mau, akupun bersedia mengulangi jalan kita yang dulu. Jalan yang sudah merekam semua kisah kita tanpa ada yg terlewat termasuk saat aku berharap padamu, biar kau menyaksikan semua rekamannya tanpa perlu aku bercerita. Jika aku menempuhnya denganmu aku tidak akan takut. Kita cukup menambah hal yang kurang pada saat itu, memperbaiki mimpi-mimpi kita jika itu kurang baik dan mencoba menyempurnakannya. Karena bagiku, tidak ada hal yang buruk di jalan itu selama kita melintasinya. Hanya ada kita. Kita dan tawa kita.
Kau tahu, semua tentang kita adalah jawaban dari akhir perjalanan ini. Ya, kita.

Nulis duet dengan tema :Kenangan
Oleh @da_manique dan @jusnitagaol
Balige dan Jakarta

Kamis, 16 Februari 2012

silakan diakhiri.... :)

Aku menutup pintu perlahan, tak ingin ibu terbangun dari tidurnya. Sudah hampir menjelang subuh dan mungkin sebentar lagipun matahari akan buru-buru muncul. Aku kembali mendengar suara batuk ibu untuk kesekian kalinya. Sepanjang malam aku menjaga dan menemaninya sekarang mataku terasa sangat perih, ini sudah hampir 2 bulan aku tak lagi bisa menikmati tidur malam karena harus menjaga ibu.
 Aku hanya punya ibu, sejak ayah meninggal 2 tahun lalu sementara ibu kadang-kadang merasa tak punya siapa-siapa sejak ayah tak ada, merasa tak ingin melanjutkan hidup dan ingin menyusul ayah katanya berulang kal. Aku tau aku takkan pernah menggantikan posisi ayah disampingnya, takkan bisa mengerti persis apa yang dirasakannya, aku tau aku takkan bisa memberikan apa yang pernah didapatkannya dari ayah. tapi sesekali aku juga ingin dia tau aku masih membutuhkan perhatian seorang ibu. Ada saatnya aku merasa ibu tak adil padaku, tak seharusnya dia menempatkanku pada posisi ini, aku juga tak ingin ayah pergi meninggalkan kami. Tapi seperti janjiku pada almarhum ayah aku harus tetap menjaga ibu.
Kucoba sejenak membaringkan tubuhku di sofa berharap aku bisa istirahat paling tidak satu jam saja. Glenn, seorang anak berumur 4 tahun membawakanku lukisan yang dibuatnya sendiri. Aku tak tau tepatnya ini lukisan apa tapi sepertinya dia sedang mencoba melukis sebuah rumah dengan pohon besar di halamannya.
“ini rumah buat ibu…” Glenn memberikan lukisannya padaku, senyumnya mengisyaratkan kebahagiaan yang sangat besar.
“trimakasih sayang” kucium keningnya dan kubelai-belai rambutnya. Dia salah satu siswa dari kelas toodler yang paling dekat denganku.
“Sinta!” aku terkejut seseorang menepuk punggungku sangat keras. Aku terkejut dan tersadar barusan hanya mimpi. Jarum pendek di Jam tanganku menunjukkan angka 7. Sontak aku berdiri dan berlari ke kamar mandi.
Tidak!! Tidak!! Jangan lagi kumohon…aku berharap dalam hati. Seminggu belakangan ini aku selalu terlambat dan baru kemaren aku dapat peringatan dari kepala sekolah tempatku mengajar. Dalam waktu 15 menit aku sudah ada di halte untuk menunggu angkutan umum. Syukurlah mini bus yang kutunggu segera datang, aku tak tau ini hanya perasaanku saja atau tidak tapi aku merasa perjalanan ini menjadi sangat lama dan panjang.
Aku pasti akan terlambat, kusandarkan tubuhku dan  kurenungi nasibku yang sudah sangat kacau hampir 2 tahun ini. Kapan ini semua akan berakhir Tuhan?

*nulisDuet*

Rabu, 15 Februari 2012

untuk cinta

Aku berjalan pelan, bahkan sangat pelan. Rasanya punggungku sakit lagi. Ada rasa kaku, ngilu yang membeku. Sudah beberapa hari ini aku merasakannya, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Mungkin itu hanya faktor usiaku yang tidak muda lagi. Empat puluh tujuh tahun, bukan usia yang muda, bukan? Bahkan anakku yang paling besar sudah bisa menikah, walau ia belum mau, katanya masih ingin menikmati masa muda. Aku mengikuti apa kata dia, toh hidupnya adalah kepunyaan dia, aku hanya seorang mama yang ingin anak-anaknya bahagia.

Langkahku berhenti pada tumpukan pakaian di dalam keranjang, yang selalu penuh dengan pakaian kotor suami dan anak-anakku. Aku memilih pakaian-pakaian yang bisa digabung untuk dicuci dan memisahkan pakaian yang harus dicuci secara terpisah.

Aku seorang wanita karier yang sukses, tapi itu dulu. Aku harus berhenti karena kehamilanku yang pertama. Suamiku tidak mau aku harus mempertaruhkan kehamilanku karena beban pekerjaan di pundakku. Akhirnya aku mengalah, aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang selalu aku banggakan. Dan jadilah aku seperti sekarang ini, sendirian di rumah, mengurus semua keperluan rumah, dan ditinggalkan. Anak-anak pergi sekolah, kuliah, dan suamiku pergi kerja. Well, aku sudah terbiasa seperti ini, dan aku tidak keberatan. Aku masih bisa menyibukkan diri dengan pergi berbelanja, bertemu dengan teman-teman ibu rumah tangga, dan juga menjahit atau menyulam. Itu hobi yang selalu menemani hari-hariku.

Kali ini aku sedang memeriksa jas suamiku, meraba-raba kantongnya mana tahu ada kertas penting yang tertinggal. Sebuah note kecil berwarna kuning.
20 Januari 2012
Hotel Indonesia
Jam 6 tepat

Begitu kira-kira isinya. Berarti ini pesan untuk hari ini. Mungkin sebuah meeting. Dan mungkin saja meeting penting. Apa sebaiknya aku telepon saja suamiku? Sebelum aku berlama-lama, aku mengambil telepon genggam dan menelepon suamiku. Memastikan pesan ini sampai padanya.
“Halo,” sebuah suara wanita asing menjawab telepon suamiku.
Aku sedikit tersentak. Sudah pukul lima sore, suamiku sudah pulang kantor pastinya. Mengapa ada suara wanita? Tidak, tidak, aku harus pikir positif, aku percaya pada suamiku, dia tidak akan mengkhianati kepercayaanku.
“Halo, ini dengan siapa ya?” tanyaku lembut.
“Ini dengan siapa?” suara itu bertanya balik.
“Ini istri dari Pak Bayu,” jawabku pasti, tegas.
“Tuut tuttt.”
Teleponnya sudah diputus, begitu saja? Aku tekan nomor ponsel suamiku lagi, aku takut aku tadi salah tekan nomor. Semoga kali ini suamiku yang mengangkat.
Aku mendengar nada tunggu, berulang kali. Apa maksudnya ini? Aku percaya pada suamiku, aku tidak yakin dia mengkhianati kepercayaanku. Dia sangat mencintaiku, aku tahu dengan pasti.

Debaran di dadaku tak lagi dapat kujaga agar tetap normal. Semua pasti tidak seperti yang kukuatirkan. 22 tahun menikah lebih dari sekedar waktu yang panjang untuk satu kata percaya.
Kuhela napas panjang dan kucoba mengingat-ingat sedang apa aku tadi. Kulanjutkan dengan memasukkan pakaian yang sudah terpisah ke dalam mesin cuci. Tapi pikiranku entah kemana. Melayang diantara no handphone suamiku dan suara wanita yang mengangkat telephonenya tadi. Ahhh…

Tanpa sadar aku meninggalkan mesin cuci yang sudah sempat dalam posisi ON. Kupastikan alamat yang kutemukan tadi. Entah suara dari mana menuntunku untuk pergi ke alamat yang tertera di note tadi.
Aku mengganti pakaian seadanya dan memberhentikan taxi yang lewat dari depan rumah.
“Hotel Indonesia mas” kataku, tak ada sahutan dari depan. Tapi aku tau kemana arah taxi ini melaju. Menuju jalan thamrin.
Pikiranku bermain dalam memory beberapa bulan ini. Mas Bayu tak seperti biasa. Tak sehangat sebelumnya. Memakaikan dasi adalah tugas yang harus kulakukan untuknya setiap pagi, itu sebelum beberapa bulan yang lalu. Entah bagaimana awalnya hingga akupun tak lagi merasa kehilangan kebiasaan itu.
Sekali sebulan kami punya jadwal makan malam berdua di tempat-tempat romantis. Sekarang tak lagi. Mungkin karena pekerjaan mas Bayu yang juga mulai bertambah, sejak dia dipromosikan ke bagian pemasaran.
Tapi tak hanya makan malam berdua yang sudah terlewatkan, sarapan pagi bersama anak-anakpun mas Bayu adakalanya tak lagi punya waktu. Kami juga tak lagi pernah berbagi cerita tentang satu hari yang kami lewati saat akan menjelang tidur. Diam telah menjadi bahasa yang kerap kudengar darinya.
Belakangan saat terbangun tengah malam aku sering memergokinya sedang memandangiku aneh. Pernah sekali dia berkata “aku kangen”
Bukankah aku selalu ada di sampingnya.
Aku pikir itu bagian dari gaya baru mas Bayu. Sekarang aku merasa itu bukan.
Air mataku jatuh tanpa permisi.
“Mas Bay….ada apa?” bisikku tanpa sadar
“bu,,kita sudah sampai…” supir taxi memandangku dari kaca depan dengan heran.
“oh iya mas…” buru-buru aku hapus air mataku. “tunggu aja mas, gapapa argonya tetap jalan..”
Kupandangi gerbang masuk hotel yang kutuju.
Jam 6 kurang beberapa menit. Sepuluh, lima belas dan akhirnya satu jam sudah aku menunggu. Tak ada sesuatupun terjadi, aku bahkan tak berani mencoba keluar dari taxi.
Supir taxi yang sedari tadi dengan sabar menunggupun sekarang sudah mulai kelihatan kuatir dengan sikapku.
“kita balik ke tempat tadi aja mas…” aku harus pulang. Tak ingin anak-anakku mendapatiku tak ada di rumah. Lagipun kurasa aku lebih baik bertanya langsung pada suamiku tentang banyaknya pertanyaan dan perubahan yang ada padanya.
Sesampainya di rumah, Grace dan  Dimas telah menantikanku dengan wajah penuh tanya. Aku harus bisa menjaga semuanya tetap baik. Senyum terbaik kurasa bisa menutupi kegusaranku.
“mama dari rumah tante Silvy, kena macet dan akhirnya pulang kelamaan” aku tak pandai berbohong dan itu adalah usaha yang terbaik bisa kulakukan.
“ma…mama baik-baik aja kan? Tadi aku tanya tante Silvy dan katanya mama ga ke sana. Handphone mama juga ga dibawa, mesin cuci ditinggalin seperti itu” Grace menggenggam tanganku lembut, dia tau aku sedang berusaha berbohong. Aku harus bagaimana? Tubuhku bergetar, pandanganku mulai nanar.
“mama pengen istirahat” aku hanya bisa menghindar. Kutinggalkan anak-anakku dengan kekuatiran mereka. Aku masuk ke kamar dan  membaringkan tubuhkan. Air mataku mengalir deras.
Mas Bayu adakah satu-satunya Pria yang paling kupercaya, dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah bagian dari jiwaku, dia adalah sandaranku sebagai seorang wanita. Mas Bayu adalah kekuatan yang sekaligus juga adalah kelemahanku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika kecurigaanku berarti sesuatu yang buruk. Suara wanita ditelephone tadi kembali terngiang ditelingaku, aku mulai menghubung-hubungkan rentetan kejadian beberapa bulan ini.
“Vin….” Mas Bayu sudah ada di sampingku, dia menyentuh punggungku lembut. “Vina…kamu kenapa?” suara lembutnya menambah kepiluanku.
Mas Bayu sudah ada dihadapanku, memandangku dengan tatapannya yang dulu membuatku tak bisa berkata “tidak” saat dia melamarku.
“kita baik-baik aja kan mas…” aku berusaha tenang. Sangat berusaha.
“kenapa kamu bicara seperti itu Vin?
“aku merasa ada sesuatu yang salah diantara kita… maafkan aku, tapi aku mulai meragukanmu. Dan aku merasa sedang menyakitimu dan menyakiti diri sendiri saat aku tak bisa bertahan untuk tetap mempercayaimu Mas..”
Mas Bayu memelukku erat, sangat erat. Aku tak tau apa arti pelukannya. Lembut namun jelas dia mengucapkan kata maaf di telingaku. Tapi aku juga tak tau untuk apa maaf itu.
“aku mencintaimu Vina…sangat mencintaimu. Dan itu tidak akan berubah” perlahan mas Bayu melepaskan pelukannya. Dia menggenggam tanganku dan menuntunku keluar dari kamar, menuju meja makan. Grace dan Dimas menantikan kami dengan senyuman yang hangat.
Semua orang, namun tidak termasuk diriku berusaha sedang menikmati makan malam ini. Apakah hanya aku yang sedang merasa ada sesuatu diantara kami? Ataukah hanya aku yang tidak pandai berpura-pura?
Dimas seperti biasa menceritakan kisah-kisah lucu di kampusnya, dan Grace mulai protes dengan orang-orang di kantornya yang berusaha menjodoh-jodohkannya dengan anak baru yang bulan lalu dimutasi ke kantor mereka.
Sesekali aku memaksakan diri tersenyum, tak ingin rasanya merusak suasana meja makan ini. Mas bayu, dia seolah-olah baru saja kembali menjadi Mas Bayu yang dulu. Dia adalah ayah yang terbaik buat anak-anakku dan saat saat seperti ini aku sangat bisa melihat itu, dia bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi sahabat dan orang tua yang mendengarkan.
***
Sebelas bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Dan baru kemarin kami mengantarkan mas Bayu ke peristirahatan terakhirnya. Kanker hati telah memaksanya untuk berhenti berjuang hidup.
Bulan-bulan terakhirku bersamanya adalah bulan-bulan dimana aku harus melihatnya harus sangat menderita menjalani hidup.
Saat dia mendengar diagnosa dokter, maka anak-anak kami adalah orang-orang yang pertama kali diberitahunya, karna katanya anak-anak akan tetap bisa menjagaku. Mas Bayu telah merencanakan semuanya dan anak-anak hanya bisa mendukungnya. Pada akhirnya aku juga tau Grace tak ingin segera menikah adalah untuk tetap bisa mendampingiku disaat-saat akhir hidup ayahnya.

Maaf telah dengan sengaja menyakitimu Vin… maaf telah membuatmu harus belajar kehilangan aku bahkan saat aku masih ada di sampingmu.
Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan cukup tangguh saat kehilanganku.
Aku pernah berjanji di depan altar untuk bersamamu saat suka dan duka, saat sakit maupun sehat. Pernah berjanji untuk menjaga dan tetap mencintaimu.
Namun aku tak ingin membuatmu terluka dengan semua kebersamaan kita. Aku ingin kau juga akan tetap bahagia meski tanpaku. Aku ingin tetap mencintaimu seperti janjiku, hanya saja dengan cara yang berbeda.
Kebahagiaanmu adalah janjiku, menyakitimu sesaat mungkin hanya salah satu cara untuk tetap menjagamu.
Aku tak ingin kau bersedih jika kelak tiap pagi tak lagi harus memasangkan dasi buatku, tak ingin engkau merasa kesepian jika malam tak lagi punya teman berbagi cerita tentang satu hari yang terjadi, tak ingin kau bersedih jika kelak aku tak lagi bisa ada untukmu. Aku ingin tetap menjagamu seperti janjiku tapi bukan  dengan cara yang kau pikirkan.
Aku ingin menggenapi janji yang pernah kubuat meski tak lagi ada untukmu. Aku ingin engkau tetap bahagia. Kau telah berkorban banyak untukku… Aku telah mengambil terlalu banyak dari dirimu Vin… waktu dan karirmu telah kau korbankan untuk mencintaiku. Untuk keluarga kita.
Maafkan aku, tetaplah bahagia meski aku tak ada. Aku takkan memintamu tetap bahagia demi aku, sebab akan terlalu egois aku karna itu, tapi bahagialah demi cinta kita. Demi janji yang pernah kita buat. Aku telah berusaha menggenapi janjiku.

Cintamu
Bayu

Bahkan sampai dia tak adapun, dia tetap menjadi pria yang terbaik dan paling mencintaiku. Aku akan tetap bahagia demi cinta kami. Aku berjanji!