Ingatkah engkau cerita tentang gadis penjual korek api? Gadis
yang karna kedinginan membakar sendiri satu persatu korek apinya. Dan sampai
korek terakhir habis, diapun mati kedinginan. Apakah dia mati karena
kedinginan? Coba pikirkan sekali lagi dengan baik. Sungguhkah dia mati karna
musim dingin yang tak berbelas kasihan padanya?
Bagaimana kalau ternyata dia mati karena tak ada satupun
orang yang memberi sedikit perhatian padanya? Bagaimana kalau ternyata dia mati
karena setiap orang yang melewatinya tak mau tau apa yang dibutuhkannya. Bagaimana
jika ternyata orang-orang yang tinggal di sepanjang jalan yang dingin itu lebih
memilih memberi ruang di sudut hangat rumahnya kepada anjing?
Cerita masa kecil tentang gadis penjual korek api yang tak
pernah lekang dari pikiranku. Waktu kecil aku hanya berpikir: “betapa malangnya
nasibmu gadis tanpa nama”
Dan saat usia menyentuh kata dewasa, aku berpikir: “benarkah musim dingin sekejam itu? Atau hati manusia terkadang lebih kejam dari dingin?”
Dan saat usia menyentuh kata dewasa, aku berpikir: “benarkah musim dingin sekejam itu? Atau hati manusia terkadang lebih kejam dari dingin?”
Aku mengaduk aduk kopi yang tak lagi panas yang ada di
depanku. Entah berapa lama aku sudah melakukannya, sampai akhirnya aku
menyadari bahwa ada sepasang mata yang memperhatikanku dengan tatapan penuh tanya.
Dari tepi jalan di balik kaca seorang nenek tua memandangiku lekat. Kulekukkan
bibirku ramah dan kuanggukkan kepalaku sambil tersenyum seadanya. Dan dia masih
memandangku.
Apa arti pandangan itu? Entahlah…
Kuminum kopiku untuk menghindari tatapan itu. Ah, benar kata
para pecinta kopi, kopi enak diminum sebelum dingin.
Taukah kau rasanya
dipandangi lekat oleh orang yang tak kau kenal? Yup!! Ada miripnya dengan saat
kita dipandangi oleh orang yang kita suka. Salah tingkah tak menentu.
Duh, rasa kopi
ini menjadi semakin tak nikmat. Apa yang salah denganku. Gelisah.
“Maaf, lama…” Andien menarik kursinya dan duduk di depanku. Seharusnya
sedari tadi kami duduk berdua di sini, kalau saja dia tidak harus menjawab
telepon dan sampailah aku di adegan gelisah tak menyenangkan ini.
“Din… arah jam 9, di seberang jalan ada nenek ngeliatin ke
arah kita. Kenal ga?”
Spontan Andien melihat arah yang kumaksud. “enggak kenal. Tapi
pernah liat” Andien menjawab setengah berbisik seolah-olah orang yang kami
maksud mungkin bisa mendengar pembicaraan kami.
Dengan alis terangkat dan kening berkerut aku menatap Andien
penasaran, Andien tau maksud ekspresiku.
“Iya, kemaren pulang dari ibadah natal kampus. Kita satu bus
dengan nenek itu, aku ingat wajahnya karna hampir satu jam dia berdiri di
sebelah kita. Lupa?”
Sangkin lelahnya menjadi salah satu panitia yang sibuk di
ibadah kemaren aku tertidur sepanjang perjalanan pulang. Andien dan aku duduk
bersebelahan seperti biasanya. Yah, kami terbiasa pulang bersama, dan lupa
melihat siapa yang ada di sebelah kami.
Lagu natal mengalun lembut di café tempat kami bicara, dan
nenek di luar sana akhirnya pergi tanpa bicara.
Hai, gadis penjual korek api… perhatian apa yang kau
harapkan saat kau kedinginan?
Aku malu.
“Andien…selamat natal...”
2 komentar:
Semoga si nenek dapat merasakan sukacita Natal.
Selamat Natal, 'Aku'.
kak nova dan kak ririn pasti selalu bisa buat cerpen-cerpen, awak belepotan buatnya bingung, beda sama yg di kepala.
Posting Komentar