dream!!

dream!!
aku sedang mempertahankan cinta yang ada dalam diriku, bukan untuk memiliki hati yang diharapkannya. tapi mempertahankan hatiku agar tak terluka saat hati yang diinginkannya bahkan tak menyadarinya.-----
aku sedang jatuh cinta

Selasa, 28 Februari 2012

Bersama hujan


Sungguh! sungguh aku ingin untuk tidak mengharapkan punggung semumu lagi. Dulu….mungkin itu bagian yang sangat kudamba darimu. Bersandar dan menumpahkan tiap asaku di sana. Sudah….kita sudahi saja sandiwara tak bertanda ini. Biarkan kita saling membelakangi tanpa menoleh lagi. Yah….berbalik dan saling membelakangi! Mengangkat bahu..menghempaskan nafas setengah panjang dan kueja pelan kata ‘selesai’. Menatap mata cipit dan senyum abstrakmu, hatiku mengekor dan berbisik seirama dengan tatapanku sebelum ku berlalu meninggalkanmu. Meyakinkan hati untuk tidak membalikkan badan pada arah dimana kamu yang mungkin masih memandang sisa langkahku. Kubiarkan mataku berkaca dan segudang syair yang berenang bebas di sana, di balik kelopak yang kini cembung penuh cairan.
Pertemuan terakhirku denganmu, terasa jelas telapak kananmu yang dingin dan berair. Hanya saja tetap tak bisa kupahami bahasa tanganmu yang dingin kala itu. Hm……gumamku membuyar lamunan. Aku dan kamu ada pada satu bumi yang sama. Berdiri di atas tanah yang namanya juga sama. ‘Bumi!’ Bedanya aku berdiri di atas tanah beratap langit mendung, sedang dikau berdiri di atas tanah dan atapmu bercorak abu meski tetap saja punya satu nama. ‘Bumi!’.

“Ikhlas….???”
“Bagaimana aku defenisikan kata itu di bawah langit mendung ini?” rentetan pertanyaan dari hati untuk hati beradu. Bertanya…kujawab sendiri. Bertanya dan kujawab sendiri lagi. Mereka yang memandangkupun mungkin akan tersenyum. Tapi tetap aja mereka mencerna hal yang berbeda dari yang dikunyah otak kiriku. Sudahlah. Kusudahi saja meski tak lagi ada tanda kata antara aku dan kamu.
Kuawali lagi dari kata ‘start’ dengan label ‘new’. New day, new heart, new pray and new tears… Tears…adalah seni memaknai hati yang dingin. Tapi tidaklah sama dengan cairan di balik atap mendung di atas kepalaku.. Ingin kututup ceritamu dan tak lagi kutatap punggung kuatmu. Meski harus kuakui teramat susah buat nadiku. Tapi sungguh inilah yang kunamakan penerimaan. Menerima tiap kisah yang dulu pernah kurajut bersama bayangmu…kenangan yang tak lagi berinduk. Sebab induk bermetamorfose bersama waktu.

Label ‘new’ yang terpahat di jidad kiriku pun membawa satu hati yang lain yang kemudian menjadi sahabat untuk berbagi asa. Asa yang semu. Semu….yah….semu sebab pertemuan mataku dan matanya pun tidak membekaskan kisah di sudut hatiku. Namun demi sebuah album yang kunamakan masa depan kuberanikan untuk menerima hatinya. Hanya sekedar menerima….bukan dengan rasa. Kubalut kata sahabat untuk penerimaan itu dan kuabaikan kata egois dari rasa bersalahku.
Disela candaku dengan hatinya yang kini kusebut sahabat. Kuterusik lagi dengan sosok yang tak asing di pelupukku. Dan…..kamu…kamu….kamu lagi.
Ingin kuabadikan semua cerita tentangmu dalam sebuah album yang kunamakan rahasia dan masa lalu. Kubukukan dalam sebuah catatan usang yang kelak akan menjadi sebuah dongeng pengantar tidur, dan kupastikan namamu akan kukenang dengan rasa dan cara yang tak lagi sama.

Tak terasa air mataku jatuh dan tak lagi hanya memenuhi pelupuk mataku. Ah, aku masih tak sekuat harapku! Kubuka jendela kamarku dan kupandangi tiap tetes hujan yang jatuh membasahi tanah dan rerumputan di depan kamarku. Apakah alam inipun sedang berempati untuk hatiku yang berduka?

Pandanganku mulai nanar dan hatiku semakin dingin. Hujan…berita apa yang kau bawa untuk hatiku? Mengapa engkau datang tak sendiri? Mengapa engkau membawa juga sepi bersama dinginmu? Dan mengapa hatikupun menjadi tempat persinggahanmu?

Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar yang satu harian ini menjadi persembunyianku. Beberapa jam yang lalu aku berusaha mengisi kepalaku dengan cerita-cerita tentang seseorang yang kemarin  datang dan menawarkan hatinya untuk menjadi teman hatiku. Bayu. Tapi semakin aku berusaha memikirkannya maka nama orang lain juga semakin berusaha masuk memenuhi pikiranku.

Bayu, engkau adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki dan aku terlanjur menempatkanmu pada posisi sahabat dalam hatiku. Aku tak lagi tau harus bagaimana caranya menggantikan posisimu seperti inginmu. Taukah engkau kenapa? Bukan karena aku tak ingin, tapi sejak engkau belum hadir dalam wujudmu sebagai sahabatku, hatiku terlanjur memilih seseorang. Hanya saja dia tak pernah tau dan akupun tak ingin dia tau. Aku memilih hati yang salah… Aku memilih hati yang telah berempunya. Bay, aku harus bagaimana?

Aku terlanjur salah berharap padanya, aku pernah berharap kelak akan menyandarkan lelahku pada punggungnya yang kuat, aku terlanjur pernah berharap akan bercermin di matanya yang tulus penuh kasih sayang dan pernah sangat berharap akan memegang tangannya saat merasa tak lagi mampu berdiri.
Akupun tak pernah berhenti bertanya dalam hatiku, kenapa dia? Kenapa bukan padamu aku berharap? Sebab ternyata engkaulah yang berusaha selalu hadir menjawab semua mimpi semuku. Hatimu dan tanganmulah yang selalu hadir bahkan saat aku memikirkannya. Bay… kenapa?

Kenapa kata sahabat begitu lekat dengan hadirmu sementara engkau sendiri tidak hadir untuk itu? Sejujurnya aku kerap berusaha bodoh dan menutup mata untuk semua arti dibalik kasih sayang dan perhatianmu. Aku pernah mencoba Bay, sangat sering malah. Aku ingin hatiku memanggilmu seperti harapmu tapi semua tampaknya hanya akan menjadi sandiwara bodoh yang kelak akan menyakitimu. Ini tak adil! Bay, maafkan aku…

Aku telah menyatu dengan hujan. Berharap aku dapat berbagi perihku dengan dingin. Berharap tiap tetesnya akan menghapus satu nama yang ada dalam hatiku dan kepalaku. Aku sangat berharap lebih. Aku tak lagi dapat membedakan air mataku dan air hujan, tangisku dan deru hujan menyatu menjadi irama yang tak terpisahkan, bahkan akupun tak lagi tau pasti apakah aku sedang menangis ataukah ini hanya suara alam.

Jariku menari-nari di atas tanah yang basah, dan kutuliskan sebuah nama di sana. Entah mengapa itupun bukan namamu Bay… Mungkinkah dalam ketidaksadaranpun hatiku juga salah memilih. Air hujan menghapus nama itu tanpa permisi dan tak satu hurufpun membekas.

Sekali lagi aku mencoba mengukir sebuah nama dengan ujung jariku yang mulai hampir membeku. Aku merasakan perihnya dikulitku yang membiru. Itu namamu Bay.
Mungkin harus demikian cerita ini kumulai kembali, membiarkan waktu menghapus nama yang salah itu. dengan catatan tanpa paksaan! Kurasa aku harus membiarkan nama itu terhapus perlahan-lahan dan merelakannya hilang tanpa harus menyakitiku hatiku.
Dan mungkin pula aku harus mengizinkan sakit ini bertahan sementara waktu, aku harus menjadikannya sahabat untuk perjalananku. Aku tau aku tidak sendiri. Ada kasih sayang yang tulus yang akan membalutnya. Ada perhatian yang akan menghangatkannya. Bay, maukah engkau bersabar menemaniku? Maukah engkau menjadi sahabat untuk lukaku.

Tiba-tiba hujan berhenti di tempatku berada. Dan aku merasa tak lagi sendiri bersama hujan. Payung hitam menaungiku dan senyum hangat milik seseorang yang kukenal dialamatkan padaku. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Dia menolongku berdiri. Memandangku penuh kasih sayang, seperti biasanya. Tanpa harus permisi dia telah menempatkanku di pelukannya. Aku berusaha memahami arti dari bahasa yang hanya dapat kurasakan ini. Kehangatan ini seolah-olah sedang ingin menyampaikan sesuatu.

“Dian…aku mencintaimu” Bayu berbisik lembut ditelingaku. “aku akan tunggu sampai lukamu sembuh, aku akan bersabar untukmu” aku tak lagi tau harus berkata apa. Aku hanya menumpahkan tangisku dibahu yang kini memberiku harapan.

“Bay, trimakasih…”


nulis duet @ dan @da_manique
bandung, balige

Tidak ada komentar: